E-mail Prita Mulyasari kepada sepuluh teman temannya berbuntut petaka pada dirinya. Akibat E-Mail yang berisikan keluhan atas perlakuan RS Omni international, Prita Mulyasari sempat dijebloskan kepenjara dengan alasan telah melanggar undang-undang Republik Indonesia nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik (ITE).
Padahal siapapun tahu bahwa E-mail bersifat sangat pribadi dan tidak dapat diakses oleh publik selain pihak yang punya e-mail. Lantas mengapa aparat hukum menerapkan UU ITE kepada Prita Mulyasari ? apakah mereka sedang melakukan eksperimen melalui UU ITE ?
Pasal 27 (3) UU nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik (ITE) mengatakan “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” Melanggar pasal ini dapat diancam pidana paling lama 6 tahun dan denda 1 Milyar.
Terkait kasus Prita Mulyasari, dalam pasal tersebut ada beberapa kata yang perlu diperhatikan dengan seksama yaitu “ tanpa hak” , “mendistribusikan” dan “dapat diaksesnya”. Kalimat “ tanpa hak” jika dikaitkan dengan e-mail Prita Mulyasari yang berisikan curhat kepada teman temannya tentu tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan yang dilakukan tanpa hak. Karena hak semua individu untuk melakukan komunikasi kepada setiap orang apalagi mengenai pengalaman hidup orang yang bersangkutan.
“mendistribusikan”, dalam UU ini belum jelas apa yang dimaksud dengan kata mendistribusikan. Apakah mendistribusikan mempunyai kesamaan arti dengan mempublikasikan ? Kalaulah kata “mendistribusikan” disamakan dengan mempublikasikan tentulah Prita Mulyasari tidak berhak. Karena yang berhak mempublikasikan berada di pihak Media.
Tapi yang jelas ada perbedaan antara kata “mendistribusikan” dengan “mempublikasikan”. Jika suatu informasi dipublikasikan, hal yang nyata dapat diketahui bahwa publisher atau pihak yang mempublikasikan tidak dapat lagi mengindentifikasi siapa yang menerima informasi tersebut. Hal ini karena akses sudah benar benar terbuka, siapa saja dapat melihat dan membaca informasi tersebut.
Lain halnya dengan kata “mendistribusikan”, kata ini mengandung arti yang jauh lebih sempit dari kata “mempublikasikan”. Sebab pihak yang mendistribusikan suatu informasi masih dapat mengidentifikasi pengguna informasi apalagi dilakukan dengan cara tertutup dan sangat pribadi seperti melalui e-mail.
Kalau Prita Mulyasari mengirim e-mail kepada teman temannya dianggap perbuatan pendistribusian informasi tanpa hak, maka hari hari selanjutnya milyaran pengguna e-mail terancam hidup di bui.
Aparat hukum professional dan tidak korup lazimnya dapat menegakan hukum sesuai dengan kaidah kaidah hukum yang menjurus kepada rasa keadilan tanpa mengkebiri hak privasi masyarakat. Lain halnya dengan aparat hukum korup yang selalu mendapat pesanan dan mencari celah kelemahan hukum yang kemudian diimplementasikan demi keuntungan pribadi.
Padahal siapapun tahu bahwa E-mail bersifat sangat pribadi dan tidak dapat diakses oleh publik selain pihak yang punya e-mail. Lantas mengapa aparat hukum menerapkan UU ITE kepada Prita Mulyasari ? apakah mereka sedang melakukan eksperimen melalui UU ITE ?
Pasal 27 (3) UU nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik (ITE) mengatakan “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” Melanggar pasal ini dapat diancam pidana paling lama 6 tahun dan denda 1 Milyar.
Terkait kasus Prita Mulyasari, dalam pasal tersebut ada beberapa kata yang perlu diperhatikan dengan seksama yaitu “ tanpa hak” , “mendistribusikan” dan “dapat diaksesnya”. Kalimat “ tanpa hak” jika dikaitkan dengan e-mail Prita Mulyasari yang berisikan curhat kepada teman temannya tentu tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan yang dilakukan tanpa hak. Karena hak semua individu untuk melakukan komunikasi kepada setiap orang apalagi mengenai pengalaman hidup orang yang bersangkutan.
“mendistribusikan”, dalam UU ini belum jelas apa yang dimaksud dengan kata mendistribusikan. Apakah mendistribusikan mempunyai kesamaan arti dengan mempublikasikan ? Kalaulah kata “mendistribusikan” disamakan dengan mempublikasikan tentulah Prita Mulyasari tidak berhak. Karena yang berhak mempublikasikan berada di pihak Media.
Tapi yang jelas ada perbedaan antara kata “mendistribusikan” dengan “mempublikasikan”. Jika suatu informasi dipublikasikan, hal yang nyata dapat diketahui bahwa publisher atau pihak yang mempublikasikan tidak dapat lagi mengindentifikasi siapa yang menerima informasi tersebut. Hal ini karena akses sudah benar benar terbuka, siapa saja dapat melihat dan membaca informasi tersebut.
Lain halnya dengan kata “mendistribusikan”, kata ini mengandung arti yang jauh lebih sempit dari kata “mempublikasikan”. Sebab pihak yang mendistribusikan suatu informasi masih dapat mengidentifikasi pengguna informasi apalagi dilakukan dengan cara tertutup dan sangat pribadi seperti melalui e-mail.
Kalau Prita Mulyasari mengirim e-mail kepada teman temannya dianggap perbuatan pendistribusian informasi tanpa hak, maka hari hari selanjutnya milyaran pengguna e-mail terancam hidup di bui.
Aparat hukum professional dan tidak korup lazimnya dapat menegakan hukum sesuai dengan kaidah kaidah hukum yang menjurus kepada rasa keadilan tanpa mengkebiri hak privasi masyarakat. Lain halnya dengan aparat hukum korup yang selalu mendapat pesanan dan mencari celah kelemahan hukum yang kemudian diimplementasikan demi keuntungan pribadi.